Pengunjung

Arsip Blog

The Two Figurines

Saat itu adalah hari Thanksgiving ketika kakekku datang mengunjungi kami. Sudah dua tahun kami tidak bertemu kakek sejak kunjungan terakhir kami (aku dan adik-adikku; Eric dan Breanna) ketempatnya. Kakek dan nenekku sangat bahagia setiap kami datang mengunjunginya.
Untuk seorang pria yang sudah lanjut usia, kakekku mempunyai hobi yang unik. Dia mengoleksi tokoh-tokoh action. Koleksinya antara lain adalah Power Rangers sampai the Thunder Cats.

Tapi bagian menariknya adalah, kakek selalu membawa figur-figur kesayangannya itu kemana saja dia pergi, termasuk ketika mengunjungi kami.

Ketika kakek memasuki rumah kami untuk menginap saat weekend, ibuku tersenyum padanya. Ibu terlalu tersenyum. Ibu adalah orang yang selalu terlihat paling terbahagia di dunia menurutku. Dia seperti membawa cahaya untuk hari-hari yang suram. Tidak hanya untukku dan saudara-saudaraku, tapi untuk semua orang disekitarnya.

Tapi kedatangannya kali ini tidak bersama nenekku, dan kakekku berjalan masuk rumah dengan pandangan kosong, tidak seperti biasanya. Dia tampak seperti mayat. Dia bahkan tidak memberi salam atau sekedar berkata 'hello'. Dia hanya berjalan dengan tas ditangannya.

Ibu bertanya pada kakek “dimana, ibu?”
Kakek hanya menjawab “…dia pergi sebentar”

Hal ini membuat ibuku bingung dan penasaran. Aku dapat melihat dari ekspresinya. Ibu masih terus mencoba bertanya tentang nenek tapi kakek cepat-cepat mengabaikannya, seolah-olah itu adalah bukan bahasan yang bagus dan harus berhenti membicarakan hal itu. Akhirnya ibu menyerah, dan berfikir bahwa mereka mungkin sedang terlibat pertengkaran suami-istri yang tidak ingin di diskusikan. Masalah yang wajar dalam rumah tangga, yang ayah dan ibuku juga miliki.

Kakek melihat ke arah Breanna, (yang sedang tertidur di sofa,) dan menyeringai ngeri. Sepanjang hidupku, aku tak pernah melihat senyuman sinis kakek yang seperti itu.

“Menarik sekali, betapa mudah melihat seseorang yang sedang tidur,” katanya.

Kakek dan ibuku pindah ke dapur, dimana akhirnya aku menyapa kakekku.
“Hai kakek! Kakek kemana saja?”
Dia tidak menjawab, tetapi hanya memandangku sini. Apa yang terjadi dengan kakekku? Mengapa dia sangat tidak menyenangkan seperti kunjungannya sebelum-sebelumnya?

Tetapi aku mencoba mengabaikannya dan mencari subjek lain.
“Apa isi tas mu, kek?”
Lagi-lagi, dia memberikan pandangan yang sama seperti tadi, tapi kali ini dia menjawab.
“Hanya beberapa replika yang baru aku temukan.”
Dia membonkar isi tasnya yang mana isinya lebih sedikit dari yang biasa ia bawa. Sebagai gantinya dari 10 atau 12 tokoh action (dalam bentuk replika) yang biasa dia bawa, ada dua replika tokoh action yang sudah sangat tua dan lusuh, juga terlihat mengerikan bagiku. Aku mengambil dua figur itu, ukurannya agak lebih besar dibanding figur-figur milik kakek yang biasa ia bawa. Ukurannya hampir selengan kakek. Pertamanya, mereka terlihat seperti replika tokoh action atau figur pada umumnya, tapi yang terasa janggal adalah aku tidak pernah melihat karakter itu di televisi atau di toko-toko atau ditempat-tempat lainnya. Satu terlihat sepeti laki-laki tua, wajahnya kotor dan kerut-kerutnya mengerikan. Ia terlihat sedang menggenggam belati yang terbilang kecil dan memakai jubah coklat. Sementara karakter yang satunya juga mempunyai muka dengan detail yang hampir sama, tetapi yang ini memegang kapak. Wajahnya hampir semuanya tertutup oleh kotoran dan hanya mengunakan seperti celana besar, bertelanjang dada, dan membawa kapak di salah satu tangannya. Dua patung kecil itu adalah patung replika atau figur dan sejenisnya yang terseram yang pernah aku lihat. Tetapi, disamping itu semua, aku mulai menikmati bermain dengan keduanya. Terlintas dipikiranku, perasaan yang tak bisa jelaskan, perasaan ingin memiliki dan menyimpan mereka.

Aku melihat ke kakekku, siap bertanya padanya darimana ia mendapatkan figur-figur ini. Tapi ketika aku hendak membuka mulutku, aku melihat ekspresi muka nya berubah lagi. Kakek terlihat seolah-olah dia sedang berada dalam kemarahan memandangi tanganku yang menggenggam figur-figur itu, lalu melihat kearahku. Kulihat ada api kemarahan di matanya.

“Kembalikan mereka sekarang juga. Sekarang juga”

Aku terkejut melihatnya. Tapi kemudian kakek mulai menyerangku, menendangku untuk merebut figur-figurnya. Aku menjadi begitu takut dan kaget, lalu aku mengelak kebelakang, menghindari serangan kakek.

Kakekku berlutut, sepertinya dia menyerah pada usahanya untuk merebut figur-figur tadi, lalu berikutnya ia jatuh kelantai. Ibuku mencoba menggapai kakek. Kemudian kakek memegangi dadanya, dan tergagap-gagap kesulitan menghirup udara dengan cara yang menakutkan. Ibuku menelpon 911, tapi kakek meninggal sebelum ambulan tiba, dia terserang serangan jantung.

Pada hari berikutnya, pemakaman kakek dilaksanakan. Kami tidak menghubungi nenek karna sampai saat ini kami tidak tahu dimana nenek berada. Jadi, pemakaman berlangsung tanpanya. Tapi bahkan ketika kami sedang mengalami duka sekalipun, obsesiku tentang figur-figur ini meningkat dengan cepat. Aku tidak begitu tertarik pada figur laki-laki tua yang membawa kapak, tapi aku lebih menyukai laki-laki tua yang membawa belati. Kakakku Eric, ternyata tertarik dengan figur yang membawa kapak, jadi aku memberikannya untuknya. Kemana saja kami pergi, kami selalu membawa figur kami tersebut. Ketika aku bermain-main dengan figurku, entah bagaimana itu terasa seperti memberikan sesuatu pada jiwaku. Aku tak bisa menjelaskan itu. Pokokknya figur itu memberikan sensasi eksentrik dan juga kebahagiaan, walau dalam perasaan yang terasa agak aneh dan janggal.

Bulan berikutnya, segala sesuatunya menjadi berubah. Aku mulai kesal dengan figur tua itu. Entah mengapa aku merasa dia mulai memandangku dengan pandangan yang membahayakan, untuk beberapa alasan, membuatku tidak bisa tidur. Aku tahu, aku seharusnya membuang figur itu. Tapi.. Aku tak bisa.. Aku sudah mencoba beberapa kali, tapi hatiku selalu ingin mengambil figur itu lagi. Aku tidak pernah bisa benar-benar membuangnya. Walaupun figur itu telah memberikanku mimpi buruk. Mimpi buruk yang tidak wajar. Mimpi tentang seseorang yang memandangiku ketika aku sedang tidur dan mencoba membunuhku, sementara yang lainnya mengelilingiku. Dimimpiku hanya ada aku sendirian. Tapi sering juga aku bermimpi, aku sedang memandangi ibu dan kakakku yang sedang tertidur. Aku hanya berdiri, tidak melakukan apa-apa. Hanya berdiri melihat mereka tidur. Aku dan figur tua itu tapi dalam bentuk manusia. Tapi semuanya terlalu nyata untuk disebut sebagai mimpi.

Mimpi buruk ini menakutkan untukku. Ternyata kakakku juga mengalami mimpi sepertiku, tentu saja dengan figur berkapaknya. Kakakku hanya pasrah dan tak berdaya, sama sepertiku. Dan kami mulai menjaga jarak dengan adik perempuan dan ibu kami. Pilihan kami hanya diam.

Pada suatu malam, aku terbangun dari tidurku dalam keadaan terperanjat. Aku melihat ke seluruh kamarku untuk memastikan tidak ada apa-apa di dalam kamarku. Tapi aku merasa seprai ku basah dan dingin. Aku meraba area yang basah. Dan aku rasa aku perlu memberitahu ibuku.

Aku bangun dan segera melihat figur laki-laki tua ku (aku merasa lebih baik tidak pergi kemana-mana jika harus tanpanya), tapi aku tak menemukan figur itu ditempat aku meletakkannya. Aku kebingungan, rasanya aneh sekali aku pergi tanpa membawanya. Tapi akhirnya aku memutuskan untuk tetap pergi ke kamar ibuku.

Aku melangkah pelan kekamar ibuku, yang pintunya sedikit terbuka. Aku berjalan ketempat tidurnya. Aku mengguncang perlahan tubuhnya, mencoba membangunkannya untuk memberitahu hal memalukan yang telah aku lakukan. Ketika itu pukul 3 pagi. Dan kamarnya terlihat sangat gelap tanpa sinar atau cahaya apapun. Aku mencoba menggugahnya lagi, tapi ibu tetap tidak terbangun. Lalu, kau menyadari ada yang salah pada ibuku. Ibuku juga basah.

Aku segera mencari tombol lampu dan segera menyalakan lampu. Pemandangan yang membuat aku shock, tersuguh ditempat tidur ibu. Ibu berbaring tak berdaya, badannya telah dingin, dan darah mengalir dari setiap lubang tusukan dari tubuhnya yang telah terbunuh. Aku melihat diriku, tangannya penuh dengan darah ibu karna aku menyentuhnya tadi. Tubuh ibuku penuh sayatan luka dalam. Sementara di lehernya terdapat figur laki-laki tua yang memegang belati, milikku.

Aku mengambil figur itu dan menyingkirkannya dari leher ibuku. Belati figur itu mengkilap oleh darah di bawah cahaya lampu. Aku hanya berdiri ketakutan. Kebanyakan orang berteriak ketika mereka ketakutan, tapi aku tak bisa, tak tahu mengapa. Aku bahkan tak bisa mengumpulkan suara dari tenggorokkan ku. Aku membeku, menggigil ketakutan.

Aku melihat mayat ibuku, dan duduk disampingnya. Kemudian ku lirik figur yang telah kusingkirkan dari ibu ku tadi. Seperti biasa, perasaan aneh menyelimuti. Perasaan yang eksentrik dan menggembirakan.

“Menyenangkan bukan melihat seseorang yang sedang tertidur?”

Aku mengambil figurku dan berjalan pelan ke kamar Eric. Untuk alasan yang tak jelas aku merasa harus melakukan sesuatu untuknya. Aku harus.. Aku harus..

Aku menyelinap kekamarnya. Sesampainya disana, aku melihat tempat tidur Eric. Aku melihat gundukan ditempat tidurnya, yang tak lain adalah tubuhnya. Dia sedang tertidur nyenyak dan tubuhnya terlihat kaku. Dan aku melihatnya yang sedang tertidur sekitar 2 jam, sepanjang waktu itu aku hanya berfikir.

“Menyenangkan bukan melihat seseorang yang sedang tertidur?”

Sudah hampir pukul 5 pagi sekarang, dan aku masih memperhatika Eric yang sedang tertidur. Lalu aku mendengar suara yang seperti suara dari seorang laki-laki tua.

“Potong dia, Nicholas, potong dia.”

Tanpa berfikiir dua kali, dengan tangan memegang figur, aku berjalan mendekati tempat tidur Eric. Lalu aku mencabut belati dari genggaman figur yang kupegang dan menusukkanya pada gundukan ditempat tidur yang adalah tubuh kakakku. Tapi, itu terasa lembut, tidak seperti sebuah tubuh.

Aku cepat-cepat membuka gundukan itu dan terkejut ketika melihat Eric tidak ada ditempat tidurnya. Ternyata itu hanya gundukan bantal dan guling yang sengaja dibuat seperti orang yang sedang tertidur.

Aku memandangi gundukan bantal itu. Bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang dan yang akan terjadi selanjutnya. Dan kemudian melihat figur ditanganku.

Apa yang telah kau lakukan padaku?

Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki dibelakangku, aku memutar tubuhku, dan menemukan Eric melangkah ke arahku. Sinar bulan menyinari bercak-bercak darah di wajahnya dan baju tidurnya. Aku melihat sesuatu yang remuk di pelukannya, sesuatu yang sudah tercabik-cabik parah, yaitu tubuh dari adik kami, Breanna.

Aku melihat lagi padanya, dia hanya berdiri dengan tatapan kosong ke arahku. Lalu berjalan ke arahku.
“Aku kira kita bisa berpesta malam ini” lanjutnya datar dan meletakkan mayat Breanna yang sudah tidak berbentuk ke atas tempat tidurnya. Melalui tatapan mata Eric, aku mendapatkan perasaan aneh yang sama seperti yang kudapatkan dari figurku. Eksentrik dan menggembirakan. Aku mulai tersenyum dingin pada Eric, Eric pun membalasnya. Lalu, tanpa dikomando, serentak kami berkata.

“Menyenangkan bukan melihat seseorang yang sedang tertidur?”
Terimakasih telah membaca artikel The Two Figurines. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://raver-note.blogspot.com/2013/06/the-two-figurines.html. Jika ingin copy paste artikel ini, jangan lupa untuk mencantumkan link sumber.

Share to

Facebook Google+ Twitter Digg Reddit